Adventure

Minggu, 08 Januari 2012

The Puppet of Shadow

“Tik tik tik bunyi hujan diatas genting, airnya jatuh tidak terkira…..” masih ingat lagu jaman kecil-kecil dulu? Ehehe hujan tiada habisnya menitikkan air di kota Djogja ini. Sangat disayangkan kalo sore hari tidak bisa menikmati jogja. Daftar kunjungan udah siap tapi cuaca masih aja kurang mendukung. Sambil berharap hujan reda aku ama partner mencoba menikmati mie ayam diwarung sebelah. Sambil makan sambil buat plan A, B dan C.
  1. Plan A beranjak ke prambanan melihat pertunjukan Ramayana ballet
  2. Plan B beranjak ke Sonobudoyo melihat pertunjukan wayang kulit
  3. Plan C dengan sabar menunggu hujan reda baru keliling jogja.

"gunungan"

"ujung jalan malioboro nol kilometer"

Errkkkkk, hujan pun tak kunjung reda, jam udah menunjukkan pukul 20.00, gak mungkin dong kita melaju dari jogja ke prambanan yang butuh waktu tempuh kurang lebih 1jam dikala hujan. Finally kita putuskan plan A, yap nekat dalam hujan menuju Sonobudoyo.

Waktu semakin mepet, tanpa pikir panjang, dengan pakaian seadanya, kamera dan jaz hujan kita bergegas munuju TKP. Sampai di TKP kita segera parkir kendaraan dan berjalan kaki memasuki kawasan alun-alun utara jogja sambil mencari “plang” penunjuk arah “Museum Sonobudoyo” maklum “plang”nya tersembunyi diantara tenda-tenda pasar malam di trotoar jalan.

"pertunjukan pun udah mulai"

"aksi ki dalang melakonkan dua tokoh"

Dengan tergesa kita memasuki ruang pertunjukan dalam pendopo kecil yang dibungkus dinding-dinding kaca. Tiket masuk Rp 20.000 terpampang dimeja resepsionis. “whats???? Rong puluh ewu pak?” spontanku berpura-pura tidak tau kalo tiketnya segitu. “iyo” jawab bapake karo senyam-senyum. “tapi pak lha niki kan kulo pun telat gek pertunjukan we 30 menit lagi pun rampung, mosok yo rong puluh ewu pak?” lagakku gak mo kalah mencari alasan. “yowes wani piro?” jawab bapake karo senyam-senyum meneh. “eheeee limang ewu pak” sambil menunjukkan 5jari ku yang basah kuyup dengan tampang kademen (menggigil.red). “yowes kene ra popo” bapake senyum meneh sambil menerima uang 5ribuan dua yang basah. Emang murah senyum bapake ki. Hihihiiii ternyata ada ya pertunjukkan untuk kelas eksklusif di tawar sama gembeler. Hehehe…

"beraksi penuh khitmat"

Ruangnya dingin karena ber AC jadi tambah menggigil deh. Pertunjukan wayang kulit berlangsung selama 2 jam antara pukul 20.00-22.00. Pertunjukan ini pentas setiap hari kecuali hari minggu. Mungkin karena pentas setiap hari dan mahalnya tiket masuk pementasan ini tidak terlalu banyak pengunjungnya. Waktu itu yang menonton hanya sekitar 6 orang termasuk kita, lainnya orang bule. Kalo dikota solo ada pertunjukan wayang orang yang bermain setiap malam kecuali hari senin, dan tiketnya hanya Rp 3000 aja, coba bandingkan dengan jumlah pemain dalam wayang kulit dan wayang orang, lebih banyak wayang orangkan? Nah seharusnya tiketnya agak dimurahkan aja kerna sekaligus guna melestarikan pertunjukan budaya ini. Di wayang orang solo itu pemainnya semuanya Pegawai Negeri Sipil, yang mau gak mau sesuai jadwal ya mereka pentas, dengan ataupun tanpa penonton.

"Ki dalang"

"wayangnya berjejer"

Cerita wayang kulit kali ini adalah “???” hehehe gak tau, lupa mencatatnya kerna udah datang terlambat, “ngeyang” meneh. Jadwalnya ada didepan pintu masuk museum.  WAYANG adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang sendiri meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

"bonang"

Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.

"gunungan pembuka dan penutup pertunjukan"

Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh punokawan dalam pewayangan untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan. Sekiranya itu yang ak ambil dari sejarah wayang kulit di Indonesia.

Wayang kulit bisa dinikmati dari dua arah, yaitu dari depan layar ato dari belakang layar. Keunikan tersendiri kalo kita melihat dari belakang layar, yaitu kesan bayangan dari bentuk ukiran wayang yang terlihat jelas dan apik seperti melihat dalam layar tancap. Kita bisa juga menikmati wayang dengan duduk bersama “nayogo” (penabuh gamelan.red) dan sinden “hihihiii serasa jadi bagian dalam group wayang”.

"menonton bersama pemain pun ok"

"aksi dari balik layar"

"punokawan pun beraksi"

Kalo melihat polah dalang jangan berpikir aneh-aneh ya? Dalang itu sutradara dan pelaku. Jadi semua gerakkan wayang dan dialog dilakukan sendiri olehnya serta bunyi-bunyi ketukan laku juga ia yang melakukan, hebatkan?hemmmmm. Coba pembaca ingat kapan terakhir kali melihat wayang kulit? Dulu, di desaku sebelum adanya facebook, tweeter, ym, internet masuk desa lah pokoknya ataupun tipi (baca TV.red) kalau ada yang punya hajat nikahan atau sunatan biasanya menanggap wayang kulit semalam suntuk, tapi biasanya ak pesan ama ortuku buat dibangunin antara jam 01.00 sampai jam 03.00 dini hari. Apalagi kalo guna melihat scean “goro-goro” yaitu adegan munculnya punokawan dengan guyonan yang khas kaya makna dan dilanjutkan dengan adegan peperangan antara kebaikan dan keburukan. Karena kalo mengikuti cerita dari awal akan terasa kantuk sekali. Dan kalo pertunjukan seperti itu dulu pasti sangatlah ramai sampai-sampai orang dari desa tetangga yang berjarak puluhan  kilometerpun dibela-belain datang tuk melihatnya. Bawa lampu minyak, bawa lampu senter, bawa sarung (dingin.red) serta banyak pedagang kacang dan permainan judi ndeso lainnya. Kayak pasar malam dah. Itu dulu, sekarang makin jarang orang menanggap wayang kulit. Yang laku sekarang apa lagi kalo bukan “ayu ting-ting”

"wayang kulit buat sovenir"

Setelah selesai kitapun gak langsung pulang tapi mampir dulu ke tempat ato bengkel pembuatan wayang masih di komplek museum. Wayang dibuat dari kulit lembu yang sudah diolah sedemikian rupa serta dibentuk dengan pahat dan diwarnai dengan seni “sungging”. Pahatan wayang sungguhlah rumit, dan detail. Jadi saat dipentaskan nanti meskipun hanya terlihat bayangannya saja tapi dari bayangan itu sudah terlihat jelas mana bagian-bagian dari wayang. Indah deh pokoknya, seni kelas tinggi. Pantas saja harga sebuah wayang kulit lumayan mahal. “huft jadi pengen wayang kulit, tanpa warna wes gak popo”

"ini dia pembuat wayangnya"

"dan ini hasil karya nya *erkkkk*"

Jika anda berkunjung ke Djogja mampirlah kesini kerna di seluruh dunia ini yang setiap hari (kecuali hari minggu.red) menampilkan pertunjukan wayang kulit ya mybe cuma disini Sonobudoyo Djogja.

Salam traveler.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar