Adventure

Kamis, 14 Juli 2011

Surat untuk Ayah

Beberapa teman ak mengatakan kalo hidupku itu enak.
Beberapa tetanggaku pun juga mengatakan demikian.
Bahkan sodaraku pun sependapat dengan itu.
Sebenarnya tidak sebegitunya kawan, om, bang.
Aku berusaha mengalihkan semua permasalahan hidup aku, menutupi kegelisahan dengan selalu berucap "hehehehe" dalam setiap cakapku.
Diam mendengarkan orang berbicara, mencoba memperhatikan dengan seksama dan jelas, mencoba mengerti apa yang orang bicarakan.
Perasa? banget kalo ingin ak perhatikan, Cuek? pasti kalo ak ingin menghiraukan.

Bi, ak selalu mencoba untuk mengerti akan kemauanmu. Aku sebisa mungkin menuruti apa perintahmu. Sebisa mungkin ak tak membantah perintahmu. Aku terima kasih banget telah diberi pendidikan setingkat ini, yang membuat ak lebih bisa merasakan dan memandang kehidupan dalam arti luas. Meski ada banyak ganjalan ak melewatinya, itulah hidup.

Sejak ak masih SD, ak selalu engkau perintah mengenai pekerjaan sehari-hari dirumah, ngepel, nyuci, nyapu, cuci piring, ini itu dan sebagainya. SMP, engkau perintahkan ak menyebar pupuk cair disawah, daut, matun, macul, ngarit, n others. SMK, engkau perintahkan ak kesana-kesini, beli ini beli itu dll. Saat SMK pun ak menuruti apa saranmu "kamu ak masukkan ke jurusan Otomotif", padahal ak minat di jurusan "teknik elektro", ak nurut apa perintahmu karena ak engkau didik sebagai anak yang penurut. Selesai SMK dengan predikat juara 1 jurusan Otomotif dan engkaupun mengabaikan undangan pihak sekolah untuk menghadiri upacara pelepasan siswa terbaik itu. Masuk perguruan tinggi, aku pun bingung mo kemana, aku sungguh katrok waktu itu karena ak tidak bisa menentukan pilihanku sendiri. Akhirnya ak terdampar di Almameterku dengan jurusan "Teknik Mesin". Entah kenapa dijurusan ini sampai saat ini aku merasa aku belum mendapatkan ilmu secara seorang "engineering", mungkin karena ak terlalu asyik dengan "keluarga" baruku disana? Ya keluarga baru, yang aku rasakan saat itu, dimana ak bisa mengemukakan pendapat dan pikiran secara bebas tapi sopan, berbagi pengalaman, makan bareng, tidur bareng, yang dimana aku tidak merasakan hal itu dirumah. Dan bahkan kenyataanya pun di akhir Wisuda sarjanaku, hanya ak sendiri yang disana, tanpamu Abi. Secara nyata, ak tidak pernah merasakan graduasiku bersamamu Abi, meski jelas engkau ada dan nyata.

"masih belajar memahami kehidupan"

Itulah Bi, kenapa ak sekarang seperti ini mungkin. Dari sekian yang Abi perintahkan kepadaku, satu yang engkau lupa menurutku, engkau tidak mengajari ak bagaimana itu semua dikerjakan kenapa harus dikerjakan. Hanya perintah kosong yang aku dapat, dan akhirnya kebosanan dengan perintah-perintah itu. Aku mencoba mengerti secara "otodidak" apa yang engkau perintahkan. Bahkan dalam hal ilmu agama, ak tau Abi lebih mengerti soal itu dari pada guru-guru agamaku disekolahan, tapi kenapa tidak Abi ajarkan kepadaku? Aku harus mencari sendiri semua itu, ilmu ngaji, tajwid, tafsir. Kenapa harus orang lain? dan akhirnya lihat sekarang kita punya penfsiran yang berbeda soal agama, dikit-dikit Abi tidak setuju dengan pemikiranku. Kemana Abi selama ini? Aku anakmu Bi, bukan orang lain. Aku lebih banyak mendengar ceramahmu kepada orang lain dari pada kepadaku. Tentang hukum Islam, cara ucap Abi kepadaku beda saat Abi berceramah kepada orang lain yang butuh masukan mengenai agama.
Who am i?

Abi, tidak pantas ak mengatkan ini, "tiap anak mempunyai cara pandang, sifat, kelemahan dan kekurangan masing-masing" Abi tau gak yang dirasakan anak Abi?
Aku selalu salah dimata Abi, entah kenapa kita mempunyai cara pandang yang sangat berbeda sekali. Aku berusaha untuk memahamimu Abi, bahkan saya yakin Adi yang menurut Abi anak yang "ndablek", bandel, dia juga punya rasa yang sama dengan pikiranku. Makanya saat Abi melepaskan urusan Adi ke aku, aku lebih membebaskan dia dengan masa mudanya, dan aku yakin dengan tingkahnya yang tidak akan macam-macam seperti yang Abi lihat dengan teman-temannya.

Memang tidak dipungkiri lagi bahwa mendidik anak masa sekarang dengan masa lampau itu harus dibedakan, jangan disamakan, itu tidak akan bisa. Meskipun iya itu akan sangat berbenturan sekali dengan masa sekarang dan itulah awal mula menjadikan anak berpikir tercabang tidak selaras.

Maaf Abi, aku hanya bisa mencurahkan ini semua disini. Tidak akan mungkin ak lontarkan kehadapan Abi pemikiran macam ini, karena ak tau itu tidak pantas dari anak ke orang tua.

Hamba serahkan semuanya pada Mu ya Allah. Aku berusaha untuk tidak berkata "tidak" pada orang tua ku. Aku bingung ya Allah, berilah petunjuk dan tunjukkan jalan yang lurus ke jalan Mu ya Allah, baik bagiku dan agamaku. Amin....

Muhamad Fajar S N, ST

Tidak ada komentar:

Posting Komentar